Kamis, 25 September 2014

VAN DEN BOSCH (Sistem Tanam Paksa (1830 - 1870))


Johannes graaf van den Bosch (lahir di HerwijnenLingewaal1 Februari 1780 – meninggal di Den Haag28 Januari 1844 pada umur 63 tahun) adalah Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke-43. Ia memerintah antara tahun 1830 – 1834. Pada masa pemerintahannya Tanam Paksa (Cultuurstelsel) mulai direalisasi, setelah sebelumnya hanya merupakan konsep kajian yang dibuat untuk menambah kas pemerintah kolonial maupun negara induk Belanda yang kehabisan dana karena peperangan di Eropa maupun daerah koloni (terutama diJawa dan Pulau Sumatera).

Salah satu gubernur jenderal di Hindia Belanda, memerintah sejak tahun 1830 hingga tahun 1833. Seorang gubernur jenderal yang menggagas sistem tanam paksa (cultuurstelsel), sehingga dapat memberi masukan dana yang besar bagi pemerintah Belanda. Di samping itu ia juga merupakan penggagas garis pertahanan van den Bosch di belakang Koningsplein (1830). Rencana Bosch akan membuat pertahanan yang mengelilingi distrik selatan Batavia dengan benteng militer dan berpusat di benteng Prince Frederick. Namun ternyata serangan militer yang dikuatirkan Bosch tidak pernah ada.

Sistem tanam paksa membawa hasil gemilang dan banyak sekali memberi keuntungan kepada pemerintah Belanda, kas negara yang tadinya sangat kritis keadaannya dengan cepat terisi dan kesulitan keuangan cepat dapat teratasi. Atas jasanya Van den Bosch menerima gelar bangsawan Belanda yang tinggi, yakni gelar "Graaf". Namun akhirnya sistem yang sangat merugikan rakyat ini akhimya dicela dan ditentang oleh orang-orang Belanda sendiri, yang antara lain dipelopori Baron van Hoevell dan Eduard Douwes Dekker yang terkenal dengan nama Multatulli.

 Sejarah
Tahun 1830, Pemerintah Hindia Belanda mengangkat Johanes Van den Bosch sebagai gubernur jendral di Jawa, pada masa itu Pemerintah hindia belanda sedang dalam kesulitan ekonomi akibat perang Jawa (Perang Diponegoro) pada tahun 1825 - 1830. Tugas utama van den Bosch adalah memulihkan keadaan perekonomian pemerintah Hindia Belanda. Pada masa itu, gubernur jendral baru ini berpikir bagaimana cara memulihkan kas hindia belanda ini. Lalu keluarlah ide, sebuah sistem, yang bernama tanam paksa (cultuur stelsel) sebagai solusi keuangan Hindia Belanda.

Konsep Cultuur Stelsel
Prinsip sistem ini adalah penggantian pemberian pajak, yang tadinya berupa uang dari rakyat berubah menjadi bentuk barang (natura). Artinya para petani diharuskan untuk membayar pajak dengan hasil bumi sesuai ketentuan yang berlaku. Diharapkan dari sistem ini, pungutan pajak berbentuk hasil bumi ini akan memulihkan perekonomian pemerintah Hindia Belanda. Menurut van den Bosch sistem ini akan meningkatkan ekspor Indonesia antara 15 - 20 juta rupiah setiap tahunnya. Beberapa jenis tanaman dagang meliputi : gula, nila, teh, tembakau, kopi, kayu manis, kapas.
Ketentuan sistem tanam paksa ini diatur dalam staatsblad yang memuat antara lain :
1. Sesuai persetujuan bersama, petani akan menyediakan sebagian dari tanahnya untuk ditanami tanaman tanaman dagang yang bisa diekspor pada pemerintah hindia belanda.
2. Bagian dari tanah pertanian yang disediakan oleh penduduk tidak boleh lebih dari 1/5 bagian dari tanah yang dikelola oleh penduduk desa.
3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagang, tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
4. Bagian tanah yang diserahkan untuk tanaman dagang tidak dikenai pajak tanah.
5. Tanaman dagang yang dihasilkan wajib diserahkan pada pemerintah Hindia Belanda sebagai pajak yang telah ditentukan sesuai perjanjian sebelumnya. Bila hasil penjualan tanaman itu melebihi nilai pajak yang ditentukan, maka pemerintah Hindia Belanda berkewajiban untuk mengembalikan selisih positifnya pada petani. 
6. Kegagalan panen tanaman dagang, kerugiaanya ditanggung oleh pemerintah Hindia Belanda. Kecuali kegagalan itu karena keteledoran atau kemalasan petani.
7. Penduduk desa akan mengerjakan tanah tanahnya dibawah pengawasan kepala kepala mereka. Pegawai Belanda hanya mengawasi penyerahan hasil bumi pada pemerintah.

Penyelewengan
Kalau kita lihat, sistem ini mungkin tidak terlalu memberatkan petani. Petani masih dapat menanam untuk keperluan sehari hari mereka. Namun sayangnya banyak sekali penyimpangan di lapangan yang dilakukan oleh pengawas Belanda, Bupati, Kepala Desa, dan mandor yang bertugas. Contoh penyimpangan yang banyak terjadi adalah penanaman tenaman dagang bisa melebihi 1/2 dari lahan petani, petani dipaksa untuk menanam tanaman dagang sehingga mereka kesulitan untuk makan, pajak yang seharusnya dibebaskan tetap dikenakan pada para petani, kegagalan panen juga akhirnya menjadi beban petani. Pada masa itu petani hidup amat sulit. Penyimpangan penyimpangan ini disebabkan oleh adanya hadiah finansial atau cultuurprocenten untuk para Bupati, kepala desa, dan pengawas Belanda yang wilayahnya banyak memberi masukan hasil bumi. Akibatnya para kepala desa berlomba lomba untuk memaksa petaninya bekerja dengan amat keras. Pada masa itu, pengawasan dari pemerintah Hindia Belanda amat lemah sehingga para mandor tani dapat saja berbuat seenak enaknya pada petani. 
Menurut Gonggrijp, era tanam paksa dari tahun 1830 - 1850, atau 20 tahun pertama adalah tahun paling berat buat petani Jawa. Dia menyamakan tanam paksa dengan kerja rodi membuat jalan atau jembatan. 

Masa Tanam Paksa (Cultuurstelsel) (1830–1870)
Pada tahun 1830-an Belanda dihadapkan pada permasalahan keuangan yang parah, bahkan terancam bangkrut akibat besarnya biaya peperangan yang harus mereka keluarkan selama peperangan di Jawa, Bonjol, dan Belgia. Oleh karena itu, Van den Bosch memperkenalkan sebuah sistem yang dapat memberikan keuntungan besar dengan menggunakan cara-cara tradisional, yaitu cultuurstelsel.Bosch menilai bahwa Jawa sangat cocok dan dapat memberikan keuntungan besar bagi Belanda karena kesuburan tanah dan padatnya penduduk yang dapat digunakan sebagai pekerja dan pengolah lahan.

Era Akhir Tanam Paksa
Pelaksanaan sistem tanam paksa yang menyengsarakan masyarakat akhirnya mendapat kritikan dari berbagai pihak. Tokoh-tokoh penentang cultuurstelsel di antaranya adalah sebagai berikut.
1) E.F.E. Douwes Dekker lewat bukunya yang berjudul Max Havelaar Akibat kritikan Douwes Dekker atau yang dikenal dengan nama Multatuli, Belanda mengganti politik tanam paksa dengan politik pintu terbuka. Dalam bukunya, Multatuli mengemukakan keadaan pemerintahan
kolonial yang zalim(Kalimat zalim  digunakan untuk melambangkan sifat kejam, bengis, tidak berperikemanusiaan, suka melihat orang dalam penderitaan dan kesengsaraan, melakukan kemungkaran, penganiayaan, kemusnahan harta benda, ketidak adilan dan banyak lagi pengertian yang dapat diambil dari sifat zalim tersebut, yang mana pada dasarnya sifat ini merupakan sifat yang keji dan hina, dan sangat bertentangan dengan akhlak dan fitrah manusia, yang seharusnya menggunakan akal untuk melakukan kebaikan.) dan korup di Jawa. Buku itu menjadi senjata bagi kaum liberal untuk melancarkan protes atas pelaksanaan tanam paksa.
Tahun 1860 an, partai Liberal memenangkan pemilihan di Belanda, akibatnya asa liberal mulai diberlakukan di Belanda dan negara jajahan. Tahun 1870, sistem tanam paksa murni dihapuskan dan dimulailah era pemerintahan liberal di Hindia Belanda.




                                                                                 THANK YOU



3 komentar:

  1. Ga kebaca tulisannya, mohon diperbaiki..
    Saran saya backgroundnnya jangan warna merah

    BalasHapus
  2. Saran saya gunakan background putih saja spy jelas dbca n mudh untuk copy bgi yg mmrmlukannya.

    BalasHapus